Filsafat EKSISTENSIALISME

Pengertian Filsafat Eksistensialisme

Eksistensialisme merupakan salah satu aliran filsafat yang muncul pada abad kedua puluh. Eksistensialisme dirintis oleh filsuf Denmark bernama Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855). Para ahli filsafat menyebut Soren aabye Kierkegaard sebagai pendiri Eksistensialisme.
Istilah Eksistensialisme berasal dari kata:
- eks, yang berarti keluar
- sistensi, yang berarti berdiri atau menempatkan
Jadi Eksistensi berarti manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya sendiri (Harun Hadiwijono,1992)
Eksistensi manusia berarti cara ber-ada-nya manusia sebagai subjek(pribadi) yang sadar diri dan memiliki penyadaran diri, yang keluar dari dirinya sendiri. Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan manusia sebagai pribadi (personal).
Eksistensialisme muncul dan berkembang sebagai suatu reaksi dan kritik karena ketidaksetujuannya terhadap beberapa sifat dari filsafat yang muncul sebelumnya, dan karena ketidaksetujuannya terhadap keadaan masyarakat pada zaman modern. Misalnya, Kierkegaard merasa prihatin atas terjadinya kecenderungan makin terdesaknya manusia sebagai subjek dengan harkat pribadinya oleh proses pemasalan (massification) yang makin menjadi-jadi sejalan dengan meningkatnya proses industrialisasi dan kemajuan teknologi. Pendapat umum makin lebih dipentingkan artinya ketimbang pendapat pribadi, padahal pendapat umum itu pada analisis akhirnya adalah anonim. Dalam hubungan ini Kierkegaard menganggap media pers sebagai penanggung jawab utama atas terbentuknya pendapat umum yang dinilainya udah mengandung distorsi dan bisa berakibat demoralisasi.
Nicholas Berdyaev memandang kemajuan teknologi sebagai penyebab terjadinya kecenderungan pemasalan (massification), serta berjangkitnya penularan mental (mental contagion) yang menyeragamkan sikap dan pendapat orang banyak, dan bersama itu akan makin mendesak pula nilai keaslian ungkapan pribadi (personal oroginality). Padahal, eksistensi itu justru bermakna sebagai keberadaan yang personal.
Jaspers menilai bahwa pada zaman modern, teknologi sebagai penjelmaan perkembangan yang terutama bersifat materialistik, ternyata telah memudarkan nilai-nilai spiritual dalam perikehidupan manusia. Jaspers pun merasa prihatin atas terjadinya pemasalan dan penyamarataan yang melanda manusia. Sejalan dengan proses itu, ternyata keunggulan materialisme semakin memudarkan spiritualisme. Dalam karyanya yang berjudul Man in the Modern Age, Jaspers menyatakan keprihatinannya atas terjadinya... “ the despiritualization of the world and its subjection to a regime of advanced techniques”. Jaspers meramalkan kecenderungan yang menghanyutka manusia di zaman modern, bahwa manusia sedang... “on the road to a functional absorption of men in the machine”. Ini berarti terjadinya reduksi terhadap manusia sebagai keutuhan, dan sejalan dengan itu makin terpasunglah  perkembangannya sebagai eksistensi yang bebas.Yang menggejala sebagai proses detotalisasi (yaitu tidak diindahkannya manusia sebagai keutuhan), dehumanisasi (yaitu diabaikannya kodrat kemanusiaannya), despiritualisasi (yaitu tak diacuhkannya nilai spiritual dalam kehidupannya), dan depersonalisasi (yaitu dibekukannya aktualisasi diri manusia sebagai pribadi) niscaya akan menimbulkan ketidakpastian manusia tentang makna eksistensinya, dan hal ini pada gilirannya niscaya akan menimbulkan kecemasan yang berlarut pada manusia.
Pada dasarnya Eksistensialisme mengkritik sistem pikiran filsafat dan praktek kehidupan modern dengan perkembangan kemajuan teknologi dan industrinya yang bersifat mereduksi makna eksistensi manusia. Namun demikian tidak satu pun filsuf eksistensialisme yang menentang terhadap laju kemajuan teknologi, tetapi mereka menyadarkan kita untuk mewaspadai dampak teknokrasi perikehidupan manusia. Mereka menyerukan bahwa detotalisasi , dehumanisasi, despiritualisme, dan depersonalisasi merupakan proses reduksi terhadap eksistensi manusia yang harus dihindarkan.
Setiap filsuf memiliki corak pikirannya masing-masing. Namun demikian, para filsuf Eksistensialisme bertolak dari suatu asas yang sama sebagaimana dikemukakan oleh Jean Paul Sartre bahwa “Existence comes before essence” (Titus, dkk., 1979); dan dalam memikirkan manusia, mereka bersama-sama menyerukan agar manusia tetap bereksistensi sebagai pribadi yang otentik.

A. Filsafat Umum Eksistensialisme
1. Metafisika
Para filsuf Eksistensialisme mengakui adanya realitas yang bersifat fisik (material) seperti yang dikemukakan oleh para filsuf :
1.      Martin Heidegger → realitas (material) itu sebagai “yang berada” (seiende), artinya bahwa realitas yang bersifat fisik itu, atau benda-benda itu terletak begitu saja (voorhanden) di depan manusia.
Realitas fisik atau benda-benda itu tidak memiliki kesadaran dan penyadaran diri, tetapi hanya berarti jika dihubungkan dengan manusia.
2.      Jean Paul Sartre → Realitas fisik (material) sebagai yang “berada dalam diri”, dan tidak mempunyai hubungan dengan keberadaannya.
Artinya, segala yang berada dalam diri suatu benda akan memiliki makna sesuai makna yang diberikan oleh manusia.

Realitas fisik (material) dipandang sebagai yang berada dalam diri, maksudnya bahwa manusia bertanggung jawab atas eksistensinya. Oleh karena itu, Martin Heidegger menyatakan bahwa manusia tidak termasuk yang berada atau yang berada dalam diri, melainkan ia “berada”.
Cara manusia berada disebut dengan istilah Dasein (berada di sana, di tempat) → menempati atau mengambil tempat.

Awal keberadaan dan hidup manusia adalah absurd (tidak masuk akal) → manusia menyadari pentingnya eksistensi → manusia bersifat terbuka, artinya bahwa dalam eksistensinya manusia adalah mahluk yang belum selesei.

Dalam bereksistensi, manusia dapat merasakan suatu “kecemasan” (Angst).
1.      Jean Paul Sartre → Kecemasan itu diakibatkan karena manusia terhukum dengan kebebasannya.
2.      Kierkegaard → Kecemasan itu muncul karena perjalanan mencari makna eksistensi manusia selalu menyibukan manusia dan setiap usaha itu berakhir di tepi jurang yang dalam.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa manusia ber-ada di dunia bukan atas pilihannya. Namun, menjadi apa pribadi manusia dapat ditentukan oleh keputusan dan persetujuan (komitmen). Manusia harus bertanggung jawab berjuang terus mencari makna hidup dengan jalan mewujudkan diri sebagai manusia (eksistensi).

2. Epistemologi
Makna istilah pengalaman dalam pandangan filsuf Eksistensialisme berbeda  dengan makna pengalaman dalam pandangan filsuf Empirisme atau realisme . Pengalaman bagi filsuf Eksistensialisme adalah pengalaman yang terhayati oleh individu sebagai subjek atau pribadi. Filsuf Eksistensialisme cenderung bersikap skeptis mengenai pengetahuan yang objektif, tetapi mereka mengakui kemungkinan manusia untuk dapat mencapai kebenaran.
3. Aksiologi
Para filsuf Eksistensialisme berpendapat bahwa tidak ada nilai-nilai yang bersifat absolut, tidak  ditentukan oleh kriteria dari luar. Eksistensi – manusia – adalah nilai dasar bagi setiap pribadi. Nilai adalah sesuatu yang sangat bersifat personal, persoalan individual. Dengan demikian Standar moral yang bersifat majemuk, setiap orang bebas memilih standar moralnya.

B. Implikasi Terhadap Pendidikan
1.Tujuan Pendidikan
Tujuan utama pendidikan menurut parafilsuf ekstensialisme adalah untuk membantu manusia secara individual.artinya untuk membimbing individu ke dalam  suatu penyadaran diri dan mengembangkan komitmen yang berhasil mengenai sesuatu yang penting dan bermakna bagi eksistensinya.
Tujuan khusus pendidikan bagi penganut eksistensialisme :
1.      mengembangkan penyadaran diri secara individual
2.      menyediakan kesempatan kepada individu untuk bebas menentukan pilihan etis
3.      mendorong pengembangan pengtahuan diri
4.      mengembangkan rasa tanggung jawab diri pribadi
5.      membangun rasa komitmen individual
2.Kurikulum Pendidikan
Kurikulum ideal bagi filsuf eksistensialisme akan mengutamakan:
1.      Suatu kurikulum aktivitas
2.      Minat peserta didik sebagai dasar perencanaan aktivitas
3.      Kebebasan yang penuh dari peserta didik untuk belajar secara individual maupun secara kelompok
4.      Kurikulum yang didasarkan atas kebutuhan yang dekat
5.      Mengakui perbedaan pengalaman individual peserta didik
3.Metode Pendidikan
Menurut para filsuf Eksistensialisme, pendidikan hendaknya dilaksanakan dengan teknik-teknik pembelajaran nondirective. Setiap individu harus bebas mengembangkan tujuan-tujuannya dan diharapkan dapat mencapai tujuan –tujuan tersebut melalui kegiatan belajar mereka sendiri.
4.Peranan Pendidik dan Peserta Didik
Pendidik pengannut Eksistensialisme harus demokratis, guru hendaknya berperan untuk melindungi dan menjaga kebebasan akademik, sedangkan siswa merupakan makhluk rasional yang dengan kebebasannya berperan untuk memillih dan bertanggung jawab atas pilihannya sesuai dengan pemenuhan tujuan personal.

Comments

Popular posts from this blog

Laporan Bab: PENGELOLAAN LINGKUNGAN

EFEKTIVITAS, EFISIENSI & PRODUKTIVITAS

TEORI SISTEM